TERUNGKAP, SALAH SATU SANTRI KH HASYIM ASY'ARI DI PONOROGO USIA 102 TAHUN PART 1
Sanad merupakan salah satu pilar terpenting dalam tradisi keberagamaan di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah. Baik sanad keilmuan maupun sanad perjuangan. Berkaitan dengan sanad tersebut, kini warga nahdliyin di Ponorogo patut bersyukur. Bahwa ternyata, di Ponorogo terdapat seseorang yang terhubung langsung dengan Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Beliau adalah salah satu mantan Laskar Hizbullah yang bisa dijadikan rujukan untuk menyambungkan sanad perjuangan.
Namanya *Mbah Syukri* , warga Desa Carangrejo, Kecamatan Sampung. Usianya sudah 102 tahun. Sebagaimana santri Mbah Hasyim lainnya yang selalu menyembunyikan identitasnya, begitu pula Mbah Syukri. Tak satupun warga NU Ponorogo yang mengetahui siapa sebenarnya beliau, kecuali anak-anaknya. Rahasia itu baru tersingkap setelah KH Abdul Mun’im DZ didampingi Dr. KH. Adnan Anwar berkunjung ke rumah Mbah Syukri. Keduanya adalah Instruktur Nasional Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (Inas PKP-NU).
“Atas nama Pengurus Cabang dan sekaligus Koordinator IW (Instruktur Wilayah, Red) Ponorogo, kami sangat bersyukur oleh Allah dipertemukan dengan mutiara terpendam yang selama ini kita tidak tahu. Dan ironisnya, yang menemukan malah beliau-beliau yang dari Jakarta (Kyai Mun’im dan Kyai Anwar, Red),” ungkap Sekretaris PCNU Ponorogo, Dr. H. Luthfi Hadi Aminuddin.
Rombongan Kyai Mun’im dan Kyai Adnan didampingi IW Ponorogo meluncur ke rumah Mbah Syukri, Senin (29/3) lalu. Berbekal informasi dari Kyai Mun’im bahwa beliau tinggal di Desa Carangrejo, rombongan langsung meluncur ke lokasi. Sepanjang perjalanan, para IW Ponorogo sibuk mengontak tokoh NU setempat untuk menemukan rumah Mbah Syukri. Pasalnya, rombongan tersebut tidak ada yang tahu lokasi tepatnya di mana. Beruntung, kesigapan para tokoh NU setempat berhasil menemukan rumah Mbah Syukri.
Sesampainya di tujuan, disambut sosok laki-laki tua yang masih fasih berbicara. Setelah dipersilakan masuk, perbincangan pun dimulai. Awalnya, para tamu sempat ragu-ragu soal kebenaran informasi bahwa Mbah Syukri adalah santri sekaligus mantan Laskar Hizbullah. “Butuh proses untuk memecah kode agar beliau bersedia membuka diri,” ungkap Kyai Adnan.
Sikap menyembunyikan identitas ini sama persis dengan santri Mbah Hasyim lainnya. Nyai Suryani misalnya, yang baru saja meninggal 23 Maret 2021 lalu. Santri Mbah Hasyim berusia 102 tahun itu menyamar sebagai dukun bayi dan tinggal di daerah terpencil di Rumbia, Lampung Tengah. Padahal, beliau punya peran besar di masa perjuangan. Beliau pernah ditugasi Mbah Hasyim mengisi bambu runcing dan penjalin dengan mantra sebagai senjata Laskar Hizbullah.
Sikap yang sama juga ditunjukkan Mbah Rusmani yang tutup usia pada 11 Maret 2021 lalu. Usianya diperkirakan 105 tahun. Belau juga masih punya daya ingat yang tajam serta fasih berbicara. Hanya saja, ada ‘kode’ untuk bisa membuka jati dirinya. Sebagaimana dialami Lege, salah seorang IW Ponorogo. Ketika ditanya, beliau mengaku bukan santri Mbah Hasyim. Hanya sekedar lewat saja di Ponpes Tebuireng. Ternyata, ada kode rahasia untuk bisa berdialog dengan beliau.
“Saya dikasih tahu sama IW dari Madiun, katanya suruh hidyah fatihah dulu, trus dilanjut dzikir dalam hati sambil ngobrol. Dan ternyata benar. Begitu saya lakukan, beliau baru mau bercerita. IW dari Madiun itu kalau sowan malah bagi-bagi tugas. Mereka sowan bertiga. Yang satu bagian berdialog, satu lagi bagian merekam, dan satu lagi ditugasi khusus untuk berdzikir,” ungkap Lege.
Mbah Syukri (kanan) sedang nyuwu’ tongkat yang disodorkan KH Abdul Mun’im DZ (kiri)
Mbah Syukri pun baru mau bercerita banyak ketika Kyai Mun’im menyodorkan tongkat untuk disuwuk. Begitu disodori tongkat, Mbah Syukri langsung memegang tongkat itu dan diberi japa mantra dengan do’a-do’a yang cukup panjang. Padahal sebelumnya, Mbah Syukri mengatakan hanya punya dungo slamet. Beliau bahkan mengaku sebagai abangan. Di akhir pertemuan, Kyai Mun’im memberikan jasket (jas semi jaket, Red) Wahyu Tumurun yang menjadi ciri khas Kader Penggerak NU.
“Tolong diramut. Segera tindaklanjuti dengan eksplorasi lebih dalam lagi. Seperti yang beliau ceritakan, coba gali lagi informasi tentang Kyai Wahid Hasyim,” pesan Kyai Mun’im kepada para kader NU di Ponorogo.
Luthfi menambahkan, PCNU Ponorogo akan menindaklanjuti temuan ini. “Kemarin beliau baru menjelaskan seputar sanad perjuangannya saja, hubungan antara prajurit dengan komandannya di bawah payung Laskar Hizbullah. Nanti coba kita perdalam lagi dari sisi sanad keilmuannya,” kata Luthfi.
SARUNG ANTI PELURU MBAH HASYIM PART 2
Meski awalnya menutup-nutupi, tapi akhirnya Mbah Syukri bersedia menuturkan kisah-kisah perjuangan yang dialaminya bersama Laskar Hizbullah di bawah komando Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Terutama saat berjuang melawan Pasukan Sekutu, Belanda dan Jepang menjelang kemerdekaan. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Mbah Syukri adalah santri sekaligus mantan pejuang Laskar Hizbullah yang tinggal di Desa Carangrejo, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo. Kini usianya diperkirakan sudah mencapai 102 tahun.
Senin (29/3) lalu,Tim Instruktur Wilayah (IW) dari PCNU Ponorogo mendampingi Koordinator Instruktur Nasional (Inas) KH. Abdul Mun’im DZ dan KH Adnan Anwar mengunjungi rumahnya. Kepada rombongan Mbah Syukri menuturkan, perjumpaan dengan Mbah Hasyim berawal dari rekruitmen Laskar Hizbullah di Ponorogo. Ia mendaftarkan diri bersama dengan beberapa rekannya. Seperti Mbah Kayubi, Mbah Walidu, Mbah Sadimun serta beberapa rekan lainnya. Dari Ponorogo, pasukan diberangkatkan ke Surabaya dan sebagian disebar ke Sidoarjo.
“Mbah Hasyim riyin niku keliling. Muteri anak buahe terus. Ati-ati, kudu waspodo lho yo. Ojo lengah. Ngoten dawuhe Mbah Hasyim teng anak buahe (Mbah Hasyim dulu itu keliling. Mengecek anak buahnya terus. Hati-hati, harus waspada lho ya. Jangan sampai lengah. Begitu perintah Mbah Hasyim kepada pasukannya, Red),” kenang Mbah Syukri.
Mbah Hasyim, kata Mbah Syukri, keliling dengan mengendarai jeep terbuka. Ditemani seorang sopir dan satu orang ajudannya, Mbah Hasyim mempimpin langsung di setiap pertempuran. Pernah ada kejadian di Surabaya, Mbah Hasyim yang sedang di atas mobil jeep diberondong pasukan Belanda. Mbah Hasyim membentangkan sarungnya. Tiba-tiba, sarung itu berubah jadi tameng layaknya perisai baja yang anti peluru. “Pelurune niku gepeng-gepeng kelet teng sarunge. Lho niki sanes dongeng, wong kulo ngertos piyambak (Pelurunya itu gepeng menempel di sarungnya. Ini bukan dongeng, karena saya tahu sendiri, Red),” tutur Mbah Syukri.
Kisah lainnya yang diingat Mbah Syukri adalah tertinggalnya 1600 pasukan Jepang di daerah Porong. Pasukan itu bersembunyi di suatu tempat sejenis bunker,.Tak ada satupun warga yang tahu. Keberadaan mereka baru terbongkar saat koki pasukan itu kehabisan bahan makanan dan berbelanja ke pasar. Melihat banyaknya bahan yang dibeli, ada yang curiga. Dan setelah didesak akhirnya mengaku bahwa bahan itu untuk mencukupi kebutuhan pasukan Jepang yang jumlahnya 1600 orang. Pengakuan ini membuat warga gempar sekaligus gelisah. Tak satupun warga yang berani mendekat. Bahkan pejabat setempat pun tidak tahu harus bagaimana.
Sampailah informasi ini ke Bupati Sidoarjo. Sama dengan lainnya, Bupati Sidoarjo pun merasa kebingungan. Salah seorang pejuang Laskar Hizbullah memberikan saran. “Nek kulo gampil. Niki sing saged ngatasi namung Mbah Hasyim (Kalau saya gampang. Yang bisa menyelesaikan masalah ini hanya Mbah Hasyim, Red),” kata Mbah Syukri menirukan saran rekannya untuk Bupati Sidoarjo.
Akhirnya, Bupati Sidoarjo mengirim utusan untuk sowan ke Mbah Hasyim di Tebuireng. Setelah mendapat laporan, Mbah Hasyim langsung meluncur ke Sidoarjo menemui Laskar Hizbullah. Mbah Hasyim mengajak pasukannya untuk mujahadah membaca wirid sembari berdo’a dari jam 11 siang hingga jam 11 malam. Ajaibnya, pasukan Jepang yang bersembunyi di bunker itu satu persatu keluar dari persembunyian karena diserang jutaan semut angkrang. Para pejuang Laskar Hizbullah langsung memanfaatkan momentum itu untuk menangkap pasukan Jepang tanpa perlawanan. Bahkan tanpa pertumpahan darah setetespun.
Kyai Mun’im mengatakan, kesaksian dari para santri dan pejuang Laskar Hizbullah diharapkan bisa meluruskan sejarah yang ada. Pasalnya, selama ini sosok Mbah Hasyim dikisahkan sebagai seorang kyai pesantren yang hanya mengeluarkan fatwa. “Padahal menurut kesaksian para santri yang berhasil kita temui, tidak begitu. Mbah Hasyim itu betul-betul seorang jendral lapangan yang sangat ahli dalam pertempuran. Beliau turun langsung,” tegasnya.
Hal senada juga ditegaskan Kyai Adnan. Bahkan, Mbah Hasyim juga membaca tanda-tanda alam ketika merumuskan strategi perang. “Dipelajari betul itu sama Mbah Hasyim. Bukan hanya paham strategi, tapi juga mampu membaca tanda-tanda alam. Perang Surabaya misalnya, itu pakai strategi perang Majapahit. Makanya orang yang paling tahu siapa pembunuh Mallaby, ya Mbah Hasyim. Ada semua itu bukti-bukti yang menunjukkan bahwa beliau betul-betul ahli strategi perang,” ungkap Kyai Adnan.
Mbah Syukri membenarkan pandangan-pandangan tersebut. Beliau bahkan dengan lugas mengatakan, “Seandainya tidak ada Mbah Hasyim, mungkin kemerdekaan Indonesia itu masih lama. Bisa merdeka, tapi lama,” katanya.
Mbah Syukri mengakhiri perbincangan dengan sebuah kalimat pendek yang cukup layak menjadi bahan renungan bagi generasi sekarang. “Kami-kami ini yang berjuang mati-matian. Dan sekarang kalian semua yang menikmati. Bisa makan enak, naik mobil, jalan-jalan,” sindir Mbah Syukri sembari tertawa terkekeh. Mbah Syukri adalah salah seorang pejuang Laskar Hizbullah yang menolak didaftarkan sebagai veteran perang. Dia meyakini bahwa perjuangan itu ada ‘upah’nya sendiri kelak di kehidupan berikutnya.
Sumber :
_NU Online Ponorogo_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar