Kamis, 07 Desember 2023

SEJARAH PERRKEMBANGAN PSM TAKERAN MAGETAN JAWA TIMUR INDONESIA

 

SEJARAH PERRKEMBANGAN PSM


1. Periode Awal (Masa Peirintis)

1880M / 1303H – 1936M / 1355H

Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) pada mulanya bernama “ Pesantren Takeran “ adalah bentuk pesantren sentris, dengan sistem pengajarannya melalui pendekatan pondok murni.

Pesantren Takeran dikemudikan, didirikan oleh Kyai Hasan Ulama’ yang merupakan seorang ulama’ ahli hikmah sufiyah (seperti tertuang dalam Majmu’ah Risalah) dengan dibantu oleh Kyai Moh. Ilyas pada tahun 1880 M / 1303H.

Kyai Hasan Ulama’ adalah putra Kyai Kholifah dan merupakan prajurit penasihat spiritual Pangeran Diponegoro yang mengungsi ke daerah timur (Desa Bogem, Sampung, Ponorogo tahun 1825 – 1830 M).

Setelah Kyai Kholifah wafat, Kyai Hasan Ulama’ meninggalkan Bogem menuju Takeran yang sebelumnya menetap sementara di Desa Tegalrejo dalam upaya proses pendalaman ilmu agama yang dimiliki, dirasa cukup mendalami ilmunya Kyai Hasan Ulama’ berangkat ke Takeran dan merintis berdirinya pesantren dalam bentuk pondok tradisional dan mengubah lingkungan masyarakat yabg sebelumnya kurang tersentuh nilai-nilai moral menjadi lingkungan yang sarat dengan norma-norma agamis. Hal itu dapat dilihat dari aspek budaya yang berkembang ditengah masyarakat, serta berdirinya tempat-tempat ibadah (Langgar/Surau) dibeberapa tempat, yang pendirinya adalah santri-santri / murid Kyai Hasan Ulama’.

*) Perjalanan / proses keilmuan Kyai Hsan Ulama’ terhimpun dalam buku tersendiri.

Strategi / cara yang dilaksanakan Kyai Hasan Ulama’ dalam mengembangkan Pesantren Takeran adalah melalui pendekatan “magersari”. Cara ini ditempuh karena kondisi bangsa Indonesia masih berada dijaman kolonial, sehinggga memerlukan embrio-embrio / bibit unggul sebagai kekuatan lahir maupun bathin untuk menghadapi kekuatan penjajah yang sudah mengakar dibumi Indonesia. Cara tersebut ternyata cukup efektif dalam menghimpun kekuatan serta membentuk kader pesantren yang berkualitas. Terbukti jumlah murid / santri di Takeran berkembang cukup pesat dan Langgar / Surau bahkan masjid sudah berdiri bukan hanya diwilayah Takeran tetapi sampai ke daerah lain misalnya Magetan, Madiun, Nganjuk.

Pengembangan Pesantren Takeran tetap berlangsung sampai akhirnya Kyai Hasan Ulama’ wafat padda tahun 1914M / 1337H. Kelangsungan Pesantren Takeran diterusakn oleh putra-putranya serta pengasuh yang telah dididik dibawah pimpinan KH. Imam Muttaqien putra sulung Kyai Hasan Ulama’. Sistem yang digunakan tetap mempertahankan cara “magersari” yang telah ditanamkan oleh Kyai Hasan Ulama’, hanya pengembangannya telah luas.

2. Periode Pembaharuan

1936M / 1355H – 1948M / 1367H

A. Dasar Pembaharuan.

Setelah KH. Imam Muttaqien wafat pada tahun 1936M maka Kyai Imam Mursyid Muttaqien sebagai putra almarhum, memprakarsai adanya sistem pembaharuan dengan pola kepemimpinan Pesantren. Pada dasarnya sistem ini adalah lebih mengembangkan potensi para Kyai / sesepuh pesantren yang memiliki spesialisasi ilmu agama dalam arti luas, sehingga pengenalan sistem dirintis melalui pembidangan tugas yang terkoordinir dalam satu mekanisme kelembagaan yang bernama “Majelis Pimpinan Pesantren”.

Dalam Majelis Pimpinan ini bertindak sebagai Pemimpin Umum Pesantren yaitu Kyai Imam Abu Syukur dan Kyai Arwachun sebagai wakilnya. Kyai Muhammad Umar sebagai khotib sekaligus mengajar ilmu nahwu, Kyai Muhammad Nur bertindak sebagai Lurah Pondok yang mengajar ilmu Fiqih dan Tarikh, Kyai Muhammad Faham mengajar ilmu umum. Pelaksanaan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas santri / murid Pesaantren dalam peranannya ditengah kehidupan masyarakat.

Sistem ini mengalami beberapa penyempurnaan disesuaikan dengan situasi internal maupun eksternal yang semakin menuntut kualitas pendidikan, maka pada tanggal 9 Syawal 1358H / 1939M didirikan Majelis Ma’arif (Majelis Pengajaran) dengan tujuan pokok “Mengatur, Merencana, Mengawasi dan Memperluas serta menyempuranakan perguruan Islam dan pendidikan Islam dalam Pesantren Takeran” (dikutip dari Majmu’ah Risalah).

Majelis Ma’arif ini pada hakekatnya adalah meningkatkan serta mengembangkan sistem yang telah dirintis sebelumnya. Melalui Majelis Ma’arif ini dikenalkan sistem pendidikan melalui pendekatan terpadu antara cara lama dengan cara baru. Cara lama / tradisional adalah dengan pengajaran “Weton Sorogan”. Cara baru sistem madrasah, dengan aturan klasikal sesuai dengan tingkatan umur dan kebutuhan yang ada. Pengenalan dan penerapan sistem ini diharapkan menjangkau yang lebih luas terhadap kemaslahatan umat, sehingga segala lapisan masyarakat dapat mengenyam pendidikan di Pesantren Takeran sesuai dengan tujuan pendirinya Kyai Hasan Ulama’.

B. Metode / Sistem Pembaharuan

Setelah Majelis Ma’arif berjalan beberapa tahun, hasilnya ternyata cukup efektif dan memberikan manfaat yang besar, terutama untuk anak usia sekolah, karena metode ini telah membagi / memisahkan usia dengan tingkatan pendidikan (klasikal). Walaupun dengan cara tradisional dan sarana prasana yang masih sederhana, karena tempat belajar masih dirumah ustadz / kyai dimana suasana Pondok Pesantren masih sangat mewarnai, meskipun sudah diberi pelajaran umum secara klasikal.

Dengan rasa tawadlu’ dan istiqomah yang ditanamkan oleh Ustadz/Kyai inilah sistem pendidikan PSM memberikan hasil yang baik terhadap kader-kader Pesantren, sehingga dirasakan perlunya peningkatan pengembangan sistem yang lebih menjangkau pada strata masyarakat agar metode tersebut dapat lebih bermanfaat pada masyarakat luas.

Oleh karena itu pendiri Majelis Ma’arif Kyai Imam Mursyid Muttaqien melakukan konsultasi dan musyawarah dengan beberapa tokoh Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, PSII maupun dengan sesepuh pesantren.

Setelah beberapa tahap pembicaraan yang mendalam dan mendasar, Kyai Imam Mursyid Muttaqien secara konsepsional membuat metode pengembangan Pesantren dengan suatu sistem kelembagaan yang terorgainisir dalam suatu mekanisme organisasi yang diberi nama “PESANTREN SABILIL MUTTAQIEN” dan dikukuhkan dalam rapat besar Pesantren di Masjid Jami’ Pesantren Takeran, tepatnya pada tanggal 16 September 1943M / 9 Syawal 1362H.

Dalam rapat besar ini telah dicanangkan oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien adanya pengelolaan / pengembangan Pesantren yang terpadu melalui sistem mekanisme organisasi dengan kelengkapan struktur dan fungsinya. Sistem ini sama sekali tidak mengubah dasar / jiwa pendiri Pesantren Kyai Hasan Ulama’, tetapi merupakan pengembangan sistem yang lebih komprehensif / akomodatif dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga tujuan pokok PSM dapat tercapai lebih sempurna yaitu :

“ Memancarkan yang seluas-luasnya pendidikan tentang Islam, sehingga pesantren ini mampu menghasilkan orang yang cakap dan tinggi kefahamannya tentang Islam, rajin bernakti dan beramal kepada masyarakat, berdasarkan taqwa (tunduk kepada Allah) sehingga menjadi orang yang ber-Ilmu, ber-Amal, ber-Taqwa”.

Dalam rapat besar tersebut hadir beberapa tokoh Organisasi Kemasyarakatn / Agama yang membantu kelancaran pengukuhan nama Pesantren Sabilil Muttaqien diantaranya : Maksum Yusuf (Ketua Nahdlatul Ulama’ Madiun) bertindak sebagai protokol, Haji Mansyur (Pengudus Muhammadiyah) dan Wondo Amiseno (Ketua PSII) yang memberikan sambutan serta Kyai Imam Mursyid Muttaqien yang membacakan Majmu’ah Risalah PSM sekaligus bertindak selaku Pimpinan Umum Pesantren.

Metode / sistem pembaharuan dari Pondok Pesantren menjadi Organisasi Pesantren Sabilil Muttaqien pada tanggal 16 September 1943 ini menjadi tonggak sejarah yang sangat penting karena pada tanggal tersebut dilaksanakan pembangunan gedung madrasah yang besar di pusat PSM, yang akan digunakan untuk segala macam kegiatan pengajaran mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi, dan sebagai langkah awal dididirikan sekolah guru (Madrasah Mu’alimin atau Kullyatul Mu’alimin) yang pada akhirnya menjadi SGMI (Sekolah Guru Menengah Islam).

Didalam Majmu’ah Risalah yang dibuat Kyai Imam Mursyid Muttaqien terdapat beberapa pedoman yang merupakan dasar sistem pembaharuan yang akan dilaksanakan diantaranya :

Bab I : Berisi tentang Risalah Peraturan Umum (RPU).

Bab II : Berisi tentang Risalah Peraturan Khusus (RPK).

Bab III : Berisi tentang Risalah Qo’idah (RQ).

Bab IV : Berisi tentang Risalah Lampiran ( Riwayat Hidup pimpinan

PSM sejak Pesantren Takeran).

Pada tahun 1945M / 1364H, dilakukan Rapat Besar A’la (RBAI) di Bogem, Sampung, Ponorogo yang merupakan perwujudan pelaksanaan Majmu’ah Risalah.

Dalam RBAI dihadiri utusan / kader PSM yang tersebar dibeberapa daerah diputuskan dan ditentukan struktur organisasi / lembaga seperti diamanatkan dalam Majmu’ah Risalah.

Pelaksanaan sistem dan mekanisme pembaharuan oleh PSM seperti tertuang dalam Majmu’ah Risalah telah menunjukkan perkembangan terutama dibidang pendidikan cukup pesat, karena sampai dengan tahu 1946 PSM telah dapat menampung siswa kurang lebih 500 anak yang tersebar diseluruh cabang disamping terdapat 300 siswa Mu’alimin yang berada di Takeran sebagai pusatnya.

C. Hambatan / Tantangan Terhadap Sistem Pembaharuan

Seiring dengan perkembangan PSM yang semakin maju dari tahun ketahun, yang dilandasi penanaman idealism oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien tentang “Ruhul Islam Wal Wathon” telah menunjukkan hasil yang sangat baik dan mendalam terhadap santri dan murid PSM. Namun dalam keadaan / kondisi tersebut terjadi musibah Pemberontakan PKI (Madiun Affair tahun 1948) yang mengakibatkan sebanyak 14 orang tokoh PSM termasuk Kyai Imam Mursyid Muttaqien diculik dan dibunuh secara kejam dan biadab.

Nama-nama korban tersebut adalah :

1. Kyai Imam Mursyid Muttaqien (Pemimpin Umum)

2. Kyai Muhammad Nur (Wakil Pemimpin Umum)

3. Kyai Imam Faham (Guru dan Pengasuh PSM)

4. Mohammad Suhud (Bagian Pendidikan)

5. Mohammad Maidjo (Kepala Madrasah Ibtidaiyah)

6. Rekso Sisiwojo (Guru Bahasa Daerah Mu’alimin)

7. Kyai Baidlowi (Guru Agama / Ahli Fiqih)

8. Ustadz Hadi Addaba’ (Guru Bahasa Arab)

9. Muhammad Nurun (Pengurus PSM)

10. Imam Dihardjo (Pengurus PSM)

11. Hartono (Guru Bahasa Arab)

12. Rofi’i (Penasehat PSM)

13. Prijo Hutomo (Penasehat PSM)

14. Husein (Ketua Pelajar Mu’alimin PSM)

Oleh karena itu, jika sejarah ingin mencatat tidak berlebihan jika Pesaantren Sabilil Muttaqien merupakan salah satu Pondok Pesantren di negara kita yang paling merasakan akibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 di Madiun.

Untuk mengenang korban keganasan pemberontakan PKI tahun 1948, dibangunlah suatu monumen yang disponsori oleh putra salah satu korban yaitu, M. Kharis Suhud yang merupakan tokoh nasional dan mantan Ketua DPR/MPR RI. Lokasi monumen yang disebut tetenger tersebut adalah di Soco I dan Soco II serta di Cigrok dan Batokan, karena ditempat itulah terjadi pembantaian pejuang Republik Indonesia dan para syuhada’ PSM.

Dengan adanya peristiwa pemebrontakan PKI 1948 tersebut, PSM mengalami krisi kepemimpinan karena Pemimpin Umum dan pengurus serta pengasuh banyak yang gugur. Hal itu sangat dirasakan pengaruhnya oleh paran santri / murid yang pada waktu itu sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan moril, karena pelaksanaan sistem pembaharuan yang dibuat oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien baru berjalan beberapa tahhun dan belum mampu dikembangkan secara optimal oleh warga PSM, maka kehilangan pemimpin dan pengasuh / ustadz merupakan keprihatinan yang mendalam bagi warga PSM, sehingga merupakan tantanngan bagi segenap warga yang ditinggalkan untuk tetap dapat melaksanakan dan mengembangkan konsep dasar pendirinya dengan ikhlas seperti yang tersirat maupun tersurat dalam Majmu’ah Risalah PSM.

Ditengah suasana berkabung dan prihatin warga PSM masih harus diuji kesabarannya oleh Allah yaitu terjadinya serangan Belanda yang lebih dikenal dengan “Clash” tahun 1949. Dalam perang tersebut putra terbaik / murid PSM banyak yang gugur menjadi pahlawan bangsa, antara lain :

1. Sudijo (Siswa kelas II Mu’alimin Takeran)

2. Warno Surodjo (Siswa kelas II Mu’alimin Takeran)

3. Suparno (Siswa kelas III Mu’alimin)

4. Sumani (Siswa kelas III Mu’alimin)

Disamping itu gedung madrasah pusat yang baru dibangun sebanyak 6 lokal terpaksa dibumi hanguskan oleh pasukan kita sendiri supaya tidak ditempati oleh Belanda. Dua peristiwa penting tersebut menjadikan warga PSM dan para sesepuh / pengasuh mengalami krisis kepemimpinan, maka pada tahun 1949 diadakan musyawarah inti warga PSM di Takeran.

Dalam pertemuan tersebut diputuskan Pengurus Pusat darurat yang diketuai Kyai Imam Suradji bin Muhammad Syahid. Pengurus darurat ini menghasilkan terjadinya proses Ihtifal V di Magetan.

Hasil Ihtifal I ini adalah mengadakan pembentukan organisasi disegala bidang dengan dipimpin / dipelopori oleh Siti Fauziah binti Kyai Haji Imam Muttaqien, adik Kyai Imam Mursyid Muttaqien yang kemudian menjadi istri Kyai Haji Mohammad Tarmoedji. Dibawah kepemimpinan Siti Fauziah ini didirikan pula Muslimat PSM.

Berkat keuletan dan kegigihan serta kesabaran para pengurus PSM yang masih ada maka pada tahun 1951 telah berhasil diresmikan pembangunan gedung madrasah tahap I, disusul pada tahun 1957 pembangunan madrasah tahap II. Sebagai catatan perlu diketahui bahwa decade tahun tersebut tidak banyak yang dapat dicatat karena kondisi memang sedang dalam keadaan krisis kepemimpinan dan semuanya serba darurat.

 

Sejarah PSM

Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) pada mulanya bernama “Pesantren Takeran“ adalah bentuk pesantren sentris, dengan sistem pengajarannya melalui pendekatan pondok murni. Pesantren Takeran didirikan oleh Kyai Hasan Ulama’ yang merupakan seorang ulama’ ahli hikmah sufiyah dengan dibantu oleh Kyai Moh. Ilyas pada tahun 1880 M / 1303H.

Kyai Hasan Ulama’ adalah putra Kyai Kholifah dan merupakan prajurit penasihat spiritual Pangeran Diponegoro yang mengungsi ke daerah timur (Desa Bogem, Sampung, Ponorogo tahun 1825 – 1830 M). Setelah Kyai Kholifah wafat, Kyai Hasan Ulama’ meninggalkan Bogem menuju Takeran yang sebelumnya menetap sementara di Desa Tegalrejo dalam upaya proses pendalaman ilmu agama yang dimiliki, dirasa cukup mendalami ilmunya Kyai Hasan Ulama’ berangkat ke Takeran dan merintis berdirinya pesantren dalam bentuk pondok tradisional dan mengubah lingkungan masyarakat yang sebelumnya kurang tersentuh nilai-nilai moral menjadi lingkungan yang sarat dengan norma-norma agamis. Hal itu dapat dilihat dari aspek budaya yang berkembang di tengah masyarakat, serta berdirinya tempat-tempat ibadah (Langgar/Surau) di beberapa tempat, yang pendirinya adalah santri-santri Kyai Hasan Ulama’.

 

Pengembangan Pesantren Takeran tetap berlangsung sampai akhirnya Kyai Hasan Ulama’ wafat pada tahun 1914 M / 1337 H. Kelangsungan Pesantren Takeran diteruskan oleh putra-putranya serta pengasuh yang telah dididik dibawah pimpinan KH. Imam Muttaqien putra sulung Kyai Hasan Ulama’. Pada masa kepemimpinan KH. Imam Muttaqien masih meneruskan pengajaran yang sama seperti KH. Hasan Ulama’. Setelah KH. Imam Muttaqien wafat pada tahun 1936M maka Kyai Imam Mursyid Muttaqien sebagai putra almarhum, memprakarsai adanya sistem pembaharuan dengan pola kepemimpinan Pesantren.

 

Setelah beberapa tahap pembicaraan yang mendalam dan mendasar, Kyai Imam Mursyid Muttaqien secara konsepsional membuat metode pengembangan Pesantren dengan suatu sistem kelembagaan yang terorgainisir dalam suatu mekanisme organisasi yang diberi nama “PESANTREN SABILIL MUTTAQIEN” dan dikukuhkan dalam rapat besar Pesantren di Masjid Jami’ Pesantren Takeran, tepatnya pada tanggal 16 September 1943 M/9 Syawal 1362 H.

Dalam rapat besar ini telah dicanangkan oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien adanya pengelolaan atau pengembangan Pesantren yang terpadu melalui sistem mekanisme organisasi dengan kelengkapan struktur dan fungsinya. Sistem ini sama sekali tidak mengubah dasar / jiwa pendiri Pesantren Kyai Hasan Ulama’, tetapi merupakan pengembangan sistem yang lebih komprehensif/akomodatif dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga tujuan pokok PSM dapat tercapai lebih sempurna yaitu :

“Memancarkan yang seluas-luasnya pendidikan tentang Islam, sehingga pesantren ini mampu menghasilkan orang yang cakap dan tinggi kefahamannya tentang Islam, rajin berbakti dan beramal kepada masyarakat, berdasarkan taqwa (tunduk kepada Allah) sehingga menjadi orang yang ber-Ilmu, ber-Amal, ber-Taqwa”.

Dalam rapat besar tersebut hadir beberapa tokoh organisasi kemasyarakatan/agama yang membantu kelancaran pengukuhan nama Pesantren Sabilil Muttaqien diantaranya tokoh pimpinan NU, PSSI, dll.

Metode/sistem pembaharuan dari Pondok Pesantren menjadi Organisasi Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) pada tanggal 16 September 1943 ini menjadi tonggak sejarah yang sangat penting karena pada tanggal tersebut dilaksanakan pembangunan gedung madrasah yang besar di pusat PSM, yang akan digunakan untuk segala macam kegiatan pengajaran mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi, dan sebagai langkah awal dididirikan sekolah guru (Madrasah Mu’alimin atau Kullyatul Mu’alimin) yang pada akhirnya menjadi SGMI (Sekolah Guru Menengah Islam).

 

Dengan perkembangan PSM yang semakin maju dari tahun ketahun, yang dilandasi penanaman idealisme oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien tentang “Ruhul Islam Wal Wathon” telah menunjukkan hasil yang sangat baik dan mendalam terhadap santri dan murid PSM. Namun dalam keadaan tersebut terjadi musibah Pemberontakan PKI (Madiun Affair tahun 1948) yang mengakibatkan sebanyak 14 orang tokoh PSM termasuk Kyai Imam Mursyid Muttaqien diculik dan dibunuh secara kejam dan biadab.

 

Oleh karena itu, jika sejarah mencatat bahwa PSM merupakan salah satu pesantren di negara kita yang paling merasakan akibat pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun. Di tengah suasana berkabung dan prihatin warga PSM masih harus diuji kesabarannya oleh Allah yaitu terjadinya serangan Belanda yang lebih dikenal dengan “Clash” tahun 1949. Dalam perang tersebut 4 putra terbaik/murid PSM banyak yang gugur menjadi pahlawan bangsa. Di samping itu gedung madrasah pusat yang baru dibangun sebanyak 6 lokal terpaksa dibumi hanguskan oleh pasukan kita sendiri supaya tidak ditempati oleh Belanda. Dua peristiwa penting tersebut menjadikan warga PSM dan para sesepuh / pengasuh mengalami krisis kepemimpinan, maka pada tahun 1949 diadakan musyawarah inti warga PSM di Takeran.

Dalam pertemuan tersebut diputuskan Pengurus Pusat darurat yang diketuai Kyai Imam Suradji bin Muhammad Syahid. Pengurus darurat ini menghasilkan terjadinya proses Ihtifal di Magetan.

Hasil Ihtifal I ini adalah mengadakan pembentukan organisasi disegala bidang dengan dipimpin / dipelopori oleh Siti Fauziah binti Kyai Haji Imam Muttaqien, adik Kyai Imam Mursyid Muttaqien yang kemudian menjadi istri Kyai Haji Mohammad Tarmoedji. Dibawah kepemimpinan Siti Fauziah ini didirikan pula Muslimat PSM.

Berkat keuletan dan kegigihan serta kesabaran para pengurus PSM yang masih ada maka pada tahun 1951 telah berhasil diresmikan pembangunan gedung madrasah tahap I, disusul pada tahun 1957 pembangunan madrasah tahap II. Kini perkembangan PSM yang pesat didukung dengan alumni yang berasal dari berbagai daerah mendirikan cabang-cabang PSM dengan pilar utama tetap berbasis pendidikan. Sehingga saat ini PSM telah memiliki 99 cabang dan mengelola 132 lembaga pendidikan mulai TA/TK hingga SLTA yang tersebar di seluruh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MATERI

PENGHITUNGAN JAM KURIKULUM MERDEKA

  https://nihayatulamal.sch.id/berita-struktur-kurikulum-merdeka-tingkat-madrasah-ibtidaiyah-mi.html Struktur Kurikulum Merdeka Tingkat Madr...