SEJARAH PERRKEMBANGAN PSM
1. Periode Awal (Masa
Peirintis)
1880M / 1303H – 1936M
/ 1355H
Pesantren Sabilil
Muttaqien (PSM) pada mulanya bernama “ Pesantren Takeran “ adalah bentuk
pesantren sentris, dengan sistem pengajarannya melalui pendekatan pondok murni.
Pesantren Takeran
dikemudikan, didirikan oleh Kyai Hasan Ulama’ yang merupakan seorang ulama’
ahli hikmah sufiyah (seperti tertuang dalam Majmu’ah Risalah) dengan dibantu
oleh Kyai Moh. Ilyas pada tahun 1880 M / 1303H.
Kyai Hasan Ulama’
adalah putra Kyai Kholifah dan merupakan prajurit penasihat spiritual Pangeran
Diponegoro yang mengungsi ke daerah timur (Desa Bogem, Sampung, Ponorogo tahun
1825 – 1830 M).
Setelah Kyai Kholifah
wafat, Kyai Hasan Ulama’ meninggalkan Bogem menuju Takeran yang sebelumnya
menetap sementara di Desa Tegalrejo dalam upaya proses pendalaman ilmu agama
yang dimiliki, dirasa cukup mendalami ilmunya Kyai Hasan Ulama’ berangkat ke
Takeran dan merintis berdirinya pesantren dalam bentuk pondok tradisional dan
mengubah lingkungan masyarakat yabg sebelumnya kurang tersentuh nilai-nilai
moral menjadi lingkungan yang sarat dengan norma-norma agamis. Hal itu dapat
dilihat dari aspek budaya yang berkembang ditengah masyarakat, serta berdirinya
tempat-tempat ibadah (Langgar/Surau) dibeberapa tempat, yang pendirinya adalah
santri-santri / murid Kyai Hasan Ulama’.
*) Perjalanan / proses
keilmuan Kyai Hsan Ulama’ terhimpun dalam buku tersendiri.
Strategi / cara yang
dilaksanakan Kyai Hasan Ulama’ dalam mengembangkan Pesantren Takeran adalah
melalui pendekatan “magersari”. Cara ini ditempuh karena kondisi bangsa
Indonesia masih berada dijaman kolonial, sehinggga memerlukan embrio-embrio /
bibit unggul sebagai kekuatan lahir maupun bathin untuk menghadapi kekuatan
penjajah yang sudah mengakar dibumi Indonesia. Cara tersebut ternyata cukup
efektif dalam menghimpun kekuatan serta membentuk kader pesantren yang
berkualitas. Terbukti jumlah murid / santri di Takeran berkembang cukup pesat
dan Langgar / Surau bahkan masjid sudah berdiri bukan hanya diwilayah Takeran
tetapi sampai ke daerah lain misalnya Magetan, Madiun, Nganjuk.
Pengembangan Pesantren
Takeran tetap berlangsung sampai akhirnya Kyai Hasan Ulama’ wafat padda tahun
1914M / 1337H. Kelangsungan Pesantren Takeran diterusakn oleh putra-putranya
serta pengasuh yang telah dididik dibawah pimpinan KH. Imam Muttaqien putra
sulung Kyai Hasan Ulama’. Sistem yang digunakan tetap mempertahankan cara
“magersari” yang telah ditanamkan oleh Kyai Hasan Ulama’, hanya pengembangannya
telah luas.
2. Periode Pembaharuan
1936M / 1355H – 1948M
/ 1367H
A. Dasar Pembaharuan.
Setelah KH. Imam
Muttaqien wafat pada tahun 1936M maka Kyai Imam Mursyid Muttaqien sebagai putra
almarhum, memprakarsai adanya sistem pembaharuan dengan pola kepemimpinan
Pesantren. Pada dasarnya sistem ini adalah lebih mengembangkan potensi para
Kyai / sesepuh pesantren yang memiliki spesialisasi ilmu agama dalam arti luas,
sehingga pengenalan sistem dirintis melalui pembidangan tugas yang terkoordinir
dalam satu mekanisme kelembagaan yang bernama “Majelis Pimpinan Pesantren”.
Dalam Majelis Pimpinan
ini bertindak sebagai Pemimpin Umum Pesantren yaitu Kyai Imam Abu Syukur dan
Kyai Arwachun sebagai wakilnya. Kyai Muhammad Umar sebagai khotib sekaligus
mengajar ilmu nahwu, Kyai Muhammad Nur bertindak sebagai Lurah Pondok yang
mengajar ilmu Fiqih dan Tarikh, Kyai Muhammad Faham mengajar ilmu umum.
Pelaksanaan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas santri / murid
Pesaantren dalam peranannya ditengah kehidupan masyarakat.
Sistem ini mengalami
beberapa penyempurnaan disesuaikan dengan situasi internal maupun eksternal
yang semakin menuntut kualitas pendidikan, maka pada tanggal 9 Syawal 1358H /
1939M didirikan Majelis Ma’arif (Majelis Pengajaran) dengan tujuan pokok
“Mengatur, Merencana, Mengawasi dan Memperluas serta menyempuranakan perguruan
Islam dan pendidikan Islam dalam Pesantren Takeran” (dikutip dari Majmu’ah
Risalah).
Majelis Ma’arif ini
pada hakekatnya adalah meningkatkan serta mengembangkan sistem yang telah
dirintis sebelumnya. Melalui Majelis Ma’arif ini dikenalkan sistem pendidikan
melalui pendekatan terpadu antara cara lama dengan cara baru. Cara lama /
tradisional adalah dengan pengajaran “Weton Sorogan”. Cara baru sistem
madrasah, dengan aturan klasikal sesuai dengan tingkatan umur dan kebutuhan
yang ada. Pengenalan dan penerapan sistem ini diharapkan menjangkau yang lebih
luas terhadap kemaslahatan umat, sehingga segala lapisan masyarakat dapat
mengenyam pendidikan di Pesantren Takeran sesuai dengan tujuan pendirinya Kyai
Hasan Ulama’.
B. Metode / Sistem
Pembaharuan
Setelah Majelis
Ma’arif berjalan beberapa tahun, hasilnya ternyata cukup efektif dan memberikan
manfaat yang besar, terutama untuk anak usia sekolah, karena metode ini telah
membagi / memisahkan usia dengan tingkatan pendidikan (klasikal). Walaupun dengan
cara tradisional dan sarana prasana yang masih sederhana, karena tempat belajar
masih dirumah ustadz / kyai dimana suasana Pondok Pesantren masih sangat
mewarnai, meskipun sudah diberi pelajaran umum secara klasikal.
Dengan rasa tawadlu’
dan istiqomah yang ditanamkan oleh Ustadz/Kyai inilah sistem pendidikan PSM
memberikan hasil yang baik terhadap kader-kader Pesantren, sehingga dirasakan
perlunya peningkatan pengembangan sistem yang lebih menjangkau pada strata
masyarakat agar metode tersebut dapat lebih bermanfaat pada masyarakat luas.
Oleh karena itu
pendiri Majelis Ma’arif Kyai Imam Mursyid Muttaqien melakukan konsultasi dan
musyawarah dengan beberapa tokoh Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, PSII maupun
dengan sesepuh pesantren.
Setelah beberapa tahap
pembicaraan yang mendalam dan mendasar, Kyai Imam Mursyid Muttaqien secara
konsepsional membuat metode pengembangan Pesantren dengan suatu sistem
kelembagaan yang terorgainisir dalam suatu mekanisme organisasi yang diberi
nama “PESANTREN SABILIL MUTTAQIEN” dan dikukuhkan dalam rapat besar Pesantren
di Masjid Jami’ Pesantren Takeran, tepatnya pada tanggal 16 September 1943M / 9
Syawal 1362H.
Dalam rapat besar ini
telah dicanangkan oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien adanya pengelolaan /
pengembangan Pesantren yang terpadu melalui sistem mekanisme organisasi dengan
kelengkapan struktur dan fungsinya. Sistem ini sama sekali tidak mengubah dasar
/ jiwa pendiri Pesantren Kyai Hasan Ulama’, tetapi merupakan pengembangan
sistem yang lebih komprehensif / akomodatif dalam menjangkau seluruh lapisan
masyarakat sehingga tujuan pokok PSM dapat tercapai lebih sempurna yaitu :
“ Memancarkan yang
seluas-luasnya pendidikan tentang Islam, sehingga pesantren ini mampu
menghasilkan orang yang cakap dan tinggi kefahamannya tentang Islam, rajin
bernakti dan beramal kepada masyarakat, berdasarkan taqwa (tunduk kepada Allah)
sehingga menjadi orang yang ber-Ilmu, ber-Amal, ber-Taqwa”.
Dalam rapat besar
tersebut hadir beberapa tokoh Organisasi Kemasyarakatn / Agama yang membantu
kelancaran pengukuhan nama Pesantren Sabilil Muttaqien diantaranya : Maksum
Yusuf (Ketua Nahdlatul Ulama’ Madiun) bertindak sebagai protokol, Haji Mansyur
(Pengudus Muhammadiyah) dan Wondo Amiseno (Ketua PSII) yang memberikan sambutan
serta Kyai Imam Mursyid Muttaqien yang membacakan Majmu’ah Risalah PSM
sekaligus bertindak selaku Pimpinan Umum Pesantren.
Metode / sistem
pembaharuan dari Pondok Pesantren menjadi Organisasi Pesantren Sabilil
Muttaqien pada tanggal 16 September 1943 ini menjadi tonggak sejarah yang sangat
penting karena pada tanggal tersebut dilaksanakan pembangunan gedung madrasah
yang besar di pusat PSM, yang akan digunakan untuk segala macam kegiatan
pengajaran mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi, dan sebagai langkah awal
dididirikan sekolah guru (Madrasah Mu’alimin atau Kullyatul Mu’alimin) yang
pada akhirnya menjadi SGMI (Sekolah Guru Menengah Islam).
Didalam Majmu’ah
Risalah yang dibuat Kyai Imam Mursyid Muttaqien terdapat beberapa pedoman yang
merupakan dasar sistem pembaharuan yang akan dilaksanakan diantaranya :
Bab I : Berisi tentang
Risalah Peraturan Umum (RPU).
Bab II : Berisi
tentang Risalah Peraturan Khusus (RPK).
Bab III : Berisi
tentang Risalah Qo’idah (RQ).
Bab IV : Berisi
tentang Risalah Lampiran ( Riwayat Hidup pimpinan
PSM sejak Pesantren
Takeran).
Pada tahun 1945M /
1364H, dilakukan Rapat Besar A’la (RBAI) di Bogem, Sampung, Ponorogo yang
merupakan perwujudan pelaksanaan Majmu’ah Risalah.
Dalam RBAI dihadiri
utusan / kader PSM yang tersebar dibeberapa daerah diputuskan dan ditentukan
struktur organisasi / lembaga seperti diamanatkan dalam Majmu’ah Risalah.
Pelaksanaan sistem dan
mekanisme pembaharuan oleh PSM seperti tertuang dalam Majmu’ah Risalah telah
menunjukkan perkembangan terutama dibidang pendidikan cukup pesat, karena sampai
dengan tahu 1946 PSM telah dapat menampung siswa kurang lebih 500 anak yang
tersebar diseluruh cabang disamping terdapat 300 siswa Mu’alimin yang berada di
Takeran sebagai pusatnya.
C. Hambatan /
Tantangan Terhadap Sistem Pembaharuan
Seiring dengan perkembangan
PSM yang semakin maju dari tahun ketahun, yang dilandasi penanaman idealism
oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien tentang “Ruhul Islam Wal Wathon” telah
menunjukkan hasil yang sangat baik dan mendalam terhadap santri dan murid PSM.
Namun dalam keadaan / kondisi tersebut terjadi musibah Pemberontakan PKI
(Madiun Affair tahun 1948) yang mengakibatkan sebanyak 14 orang tokoh PSM
termasuk Kyai Imam Mursyid Muttaqien diculik dan dibunuh secara kejam dan
biadab.
Nama-nama korban
tersebut adalah :
1. Kyai Imam Mursyid
Muttaqien (Pemimpin Umum)
2. Kyai Muhammad Nur
(Wakil Pemimpin Umum)
3. Kyai Imam Faham
(Guru dan Pengasuh PSM)
4. Mohammad Suhud
(Bagian Pendidikan)
5. Mohammad Maidjo
(Kepala Madrasah Ibtidaiyah)
6. Rekso Sisiwojo
(Guru Bahasa Daerah Mu’alimin)
7. Kyai Baidlowi (Guru
Agama / Ahli Fiqih)
8. Ustadz Hadi Addaba’
(Guru Bahasa Arab)
9. Muhammad Nurun
(Pengurus PSM)
10. Imam Dihardjo
(Pengurus PSM)
11. Hartono (Guru
Bahasa Arab)
12. Rofi’i (Penasehat
PSM)
13. Prijo Hutomo
(Penasehat PSM)
14. Husein (Ketua
Pelajar Mu’alimin PSM)
Oleh karena itu, jika
sejarah ingin mencatat tidak berlebihan jika Pesaantren Sabilil Muttaqien
merupakan salah satu Pondok Pesantren di negara kita yang paling merasakan
akibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 di Madiun.
Untuk mengenang korban
keganasan pemberontakan PKI tahun 1948, dibangunlah suatu monumen yang
disponsori oleh putra salah satu korban yaitu, M. Kharis Suhud yang merupakan
tokoh nasional dan mantan Ketua DPR/MPR RI. Lokasi monumen yang disebut
tetenger tersebut adalah di Soco I dan Soco II serta di Cigrok dan Batokan,
karena ditempat itulah terjadi pembantaian pejuang Republik Indonesia dan para
syuhada’ PSM.
Dengan adanya
peristiwa pemebrontakan PKI 1948 tersebut, PSM mengalami krisi kepemimpinan
karena Pemimpin Umum dan pengurus serta pengasuh banyak yang gugur. Hal itu
sangat dirasakan pengaruhnya oleh paran santri / murid yang pada waktu itu
sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan moril, karena pelaksanaan sistem
pembaharuan yang dibuat oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien baru berjalan beberapa
tahhun dan belum mampu dikembangkan secara optimal oleh warga PSM, maka
kehilangan pemimpin dan pengasuh / ustadz merupakan keprihatinan yang mendalam
bagi warga PSM, sehingga merupakan tantanngan bagi segenap warga yang
ditinggalkan untuk tetap dapat melaksanakan dan mengembangkan konsep dasar
pendirinya dengan ikhlas seperti yang tersirat maupun tersurat dalam Majmu’ah
Risalah PSM.
Ditengah suasana
berkabung dan prihatin warga PSM masih harus diuji kesabarannya oleh Allah
yaitu terjadinya serangan Belanda yang lebih dikenal dengan “Clash” tahun 1949.
Dalam perang tersebut putra terbaik / murid PSM banyak yang gugur menjadi
pahlawan bangsa, antara lain :
1. Sudijo (Siswa kelas
II Mu’alimin Takeran)
2. Warno Surodjo
(Siswa kelas II Mu’alimin Takeran)
3. Suparno (Siswa
kelas III Mu’alimin)
4. Sumani (Siswa kelas
III Mu’alimin)
Disamping itu gedung
madrasah pusat yang baru dibangun sebanyak 6 lokal terpaksa dibumi hanguskan
oleh pasukan kita sendiri supaya tidak ditempati oleh Belanda. Dua peristiwa
penting tersebut menjadikan warga PSM dan para sesepuh / pengasuh mengalami
krisis kepemimpinan, maka pada tahun 1949 diadakan musyawarah inti warga PSM di
Takeran.
Dalam pertemuan
tersebut diputuskan Pengurus Pusat darurat yang diketuai Kyai Imam Suradji bin
Muhammad Syahid. Pengurus darurat ini menghasilkan terjadinya proses Ihtifal V
di Magetan.
Hasil Ihtifal I ini
adalah mengadakan pembentukan organisasi disegala bidang dengan dipimpin /
dipelopori oleh Siti Fauziah binti Kyai Haji Imam Muttaqien, adik Kyai Imam
Mursyid Muttaqien yang kemudian menjadi istri Kyai Haji Mohammad Tarmoedji.
Dibawah kepemimpinan Siti Fauziah ini didirikan pula Muslimat PSM.
Berkat keuletan dan
kegigihan serta kesabaran para pengurus PSM yang masih ada maka pada tahun 1951
telah berhasil diresmikan pembangunan gedung madrasah tahap I, disusul pada
tahun 1957 pembangunan madrasah tahap II. Sebagai catatan perlu diketahui bahwa
decade tahun tersebut tidak banyak yang dapat dicatat karena kondisi memang
sedang dalam keadaan krisis kepemimpinan dan semuanya serba darurat.
Sejarah PSM
Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) pada mulanya bernama
“Pesantren Takeran“ adalah bentuk pesantren sentris, dengan sistem
pengajarannya melalui pendekatan pondok murni. Pesantren Takeran didirikan oleh
Kyai Hasan Ulama’ yang merupakan seorang ulama’ ahli hikmah sufiyah dengan
dibantu oleh Kyai Moh. Ilyas pada tahun 1880 M / 1303H.
Kyai Hasan Ulama’ adalah putra Kyai Kholifah dan merupakan
prajurit penasihat spiritual Pangeran Diponegoro yang mengungsi ke daerah timur
(Desa Bogem, Sampung, Ponorogo tahun 1825 – 1830 M). Setelah Kyai Kholifah
wafat, Kyai Hasan Ulama’ meninggalkan Bogem menuju Takeran yang sebelumnya
menetap sementara di Desa Tegalrejo dalam upaya proses pendalaman ilmu agama
yang dimiliki, dirasa cukup mendalami ilmunya Kyai Hasan Ulama’ berangkat ke
Takeran dan merintis berdirinya pesantren dalam bentuk pondok tradisional dan
mengubah lingkungan masyarakat yang sebelumnya kurang tersentuh nilai-nilai
moral menjadi lingkungan yang sarat dengan norma-norma agamis. Hal itu dapat
dilihat dari aspek budaya yang berkembang di tengah masyarakat, serta
berdirinya tempat-tempat ibadah (Langgar/Surau) di beberapa tempat, yang
pendirinya adalah santri-santri Kyai Hasan Ulama’.
Pengembangan Pesantren Takeran tetap berlangsung sampai
akhirnya Kyai Hasan Ulama’ wafat pada tahun 1914 M / 1337 H. Kelangsungan
Pesantren Takeran diteruskan oleh putra-putranya serta pengasuh yang telah
dididik dibawah pimpinan KH. Imam Muttaqien putra sulung Kyai Hasan Ulama’.
Pada masa kepemimpinan KH. Imam Muttaqien masih meneruskan pengajaran yang sama
seperti KH. Hasan Ulama’. Setelah KH. Imam Muttaqien wafat pada tahun 1936M
maka Kyai Imam Mursyid Muttaqien sebagai putra almarhum, memprakarsai adanya
sistem pembaharuan dengan pola kepemimpinan Pesantren.
Setelah beberapa tahap pembicaraan yang mendalam dan
mendasar, Kyai Imam Mursyid Muttaqien secara konsepsional membuat metode
pengembangan Pesantren dengan suatu sistem kelembagaan yang terorgainisir dalam
suatu mekanisme organisasi yang diberi nama “PESANTREN SABILIL MUTTAQIEN” dan
dikukuhkan dalam rapat besar Pesantren di Masjid Jami’ Pesantren Takeran,
tepatnya pada tanggal 16 September 1943 M/9 Syawal 1362 H.
Dalam rapat besar ini telah dicanangkan oleh Kyai Imam
Mursyid Muttaqien adanya pengelolaan atau pengembangan Pesantren yang terpadu
melalui sistem mekanisme organisasi dengan kelengkapan struktur dan fungsinya.
Sistem ini sama sekali tidak mengubah dasar / jiwa pendiri Pesantren Kyai Hasan
Ulama’, tetapi merupakan pengembangan sistem yang lebih komprehensif/akomodatif
dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga tujuan pokok PSM dapat
tercapai lebih sempurna yaitu :
“Memancarkan yang seluas-luasnya pendidikan tentang Islam,
sehingga pesantren ini mampu menghasilkan orang yang cakap dan tinggi
kefahamannya tentang Islam, rajin berbakti dan beramal kepada masyarakat,
berdasarkan taqwa (tunduk kepada Allah) sehingga menjadi orang yang ber-Ilmu,
ber-Amal, ber-Taqwa”.
Dalam rapat besar tersebut hadir beberapa tokoh organisasi
kemasyarakatan/agama yang membantu kelancaran pengukuhan nama Pesantren Sabilil
Muttaqien diantaranya tokoh pimpinan NU, PSSI, dll.
Metode/sistem pembaharuan dari Pondok Pesantren menjadi
Organisasi Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) pada tanggal 16 September 1943 ini
menjadi tonggak sejarah yang sangat penting karena pada tanggal tersebut
dilaksanakan pembangunan gedung madrasah yang besar di pusat PSM, yang akan
digunakan untuk segala macam kegiatan pengajaran mulai tingkat dasar sampai
tingkat tinggi, dan sebagai langkah awal dididirikan sekolah guru (Madrasah
Mu’alimin atau Kullyatul Mu’alimin) yang pada akhirnya menjadi SGMI (Sekolah
Guru Menengah Islam).
Dengan perkembangan PSM yang semakin maju dari tahun
ketahun, yang dilandasi penanaman idealisme oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqien
tentang “Ruhul Islam Wal Wathon” telah menunjukkan hasil yang sangat baik dan
mendalam terhadap santri dan murid PSM. Namun dalam keadaan tersebut terjadi
musibah Pemberontakan PKI (Madiun Affair tahun 1948) yang mengakibatkan
sebanyak 14 orang tokoh PSM termasuk Kyai Imam Mursyid Muttaqien diculik dan
dibunuh secara kejam dan biadab.
Oleh karena itu, jika sejarah mencatat bahwa PSM merupakan
salah satu pesantren di negara kita yang paling merasakan akibat pemberontakan
PKI tahun 1948 di Madiun. Di tengah suasana berkabung dan prihatin warga PSM
masih harus diuji kesabarannya oleh Allah yaitu terjadinya serangan Belanda
yang lebih dikenal dengan “Clash” tahun 1949. Dalam perang tersebut 4 putra
terbaik/murid PSM banyak yang gugur menjadi pahlawan bangsa. Di samping itu
gedung madrasah pusat yang baru dibangun sebanyak 6 lokal terpaksa dibumi
hanguskan oleh pasukan kita sendiri supaya tidak ditempati oleh Belanda. Dua
peristiwa penting tersebut menjadikan warga PSM dan para sesepuh / pengasuh
mengalami krisis kepemimpinan, maka pada tahun 1949 diadakan musyawarah inti
warga PSM di Takeran.
Dalam pertemuan tersebut diputuskan Pengurus Pusat darurat
yang diketuai Kyai Imam Suradji bin Muhammad Syahid. Pengurus darurat ini
menghasilkan terjadinya proses Ihtifal di Magetan.
Hasil Ihtifal I ini adalah mengadakan pembentukan
organisasi disegala bidang dengan dipimpin / dipelopori oleh Siti Fauziah binti
Kyai Haji Imam Muttaqien, adik Kyai Imam Mursyid Muttaqien yang kemudian
menjadi istri Kyai Haji Mohammad Tarmoedji. Dibawah kepemimpinan Siti Fauziah
ini didirikan pula Muslimat PSM.
Berkat keuletan dan kegigihan serta kesabaran para pengurus
PSM yang masih ada maka pada tahun 1951 telah berhasil diresmikan pembangunan
gedung madrasah tahap I, disusul pada tahun 1957 pembangunan madrasah tahap II.
Kini perkembangan PSM yang pesat didukung dengan alumni yang berasal dari
berbagai daerah mendirikan cabang-cabang PSM dengan pilar utama tetap berbasis
pendidikan. Sehingga saat ini PSM telah memiliki 99 cabang dan mengelola 132
lembaga pendidikan mulai TA/TK hingga SLTA yang tersebar di seluruh Indonesia.